HALTENG, MalutIndo.com || Di tengah derasnya arus modernisasi dan industri yang menyapu kampung di Halmahera Tengah, bahasa tua nyaris kehilangan penuturnya. Bahasa Sawai, yang pernah menjadi pengikat identitas masyarakat di teluk dan lembah Weda, kini terdengar semakin jarang. Namun, di saat banyak yang mulai melupakannya, seorang akademisi muda, Agus Hi. Jamal, memilih bergerak melawan senyap; (2/12).
Pada awal Desember 2025, bertempat di kantor Dinas Pendidikan Halmahera Tengah, Agus secara resmi memperkenalkan karyanya, “Bahasa Daerah Sawai dan Subdisiplin Linguistik.”
Bukan sekadar buku linguistik akademis, karya monumental ini ia sebut sebagai “jembatan terakhir” yang harus dilewati agar Bahasa Sawai tetap hidup.
”Bahasa daerah adalah jati diri. Sawai hampir punah, dan generasi muda harus belajar sebelum benar-benar hilang,” ujar Agus pada Senin, 1 Desember 2025. Pernyataan tersebut sekaligus menegaskan urgensi di balik peluncuran buku setebal ratusan halaman ini.
Buku tersebut membedah struktur Bahasa Sawai dengan metodologi linguistik modern, menganalisis secara mendalam mulai dari fonologi (tata bunyi), morfologi (pembentukan kata), hingga sintaksis (penyusunan kalimat). Diharapkan, hasil kajian ilmiah ini dapat menjadi rujukan utama bagi sekolah-sekolah yang selama ini kekurangan bahan ajar terkait bahasa lokal.
Harapan Agus sangat mendesak dan terfokus, agar pemerintah daerah segera memasukkan karyanya ke dalam kurikulum pendidikan, baik sebagai mata pelajaran wajib maupun muatan lokal.
”Dengan begitu, murid-murid di Halmahera Tengah dapat belajar dan mempraktikkan bahasa nenek moyang mereka sejak bangku sekolah dasar,” harapnya.
Sambutan awal dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Halteng Muksin Ibrahim, menerima buku itu dengan apresiasi tinggi. Ia bahkan membuka peluang agar buku tersebut dapat menjadi bahan kebijakan resmi.
Bila rencana ini benar-benar terealisasi, Halmahera Tengah bakal menjadi satu dari sedikit daerah yang mengambil langkah konkret dan berani dalam merawat warisan linguistiknya secara institusional.
Di tengah upaya pelestarian bahasa yang sering berakhir pada seminar dan seremonial belaka, inisiatif Agus Hi. Jamal menghadirkan sesuatu yang lebih nyata, sebuah ikhtiar otentik untuk menjaga napas terakhir Bahasa Sawai agar tetap terdengar di bumi Fogugoro.
***(RR/Red)***
